Bank digital milik grup besar, Superbank, resmi menetapkan penawaran umum perdana (IPO) untuk saham dengan kode SUPA. Menurut prospektus yang dirilis pada 25 November 2025, Superbank menawarkan sekitar 4,40 miliar saham baru setara dengan sekitar 13% dari modal ditempatkan dan disetor penuh setelah IPO. Harga penawaran (price band) ditetapkan dalam rentang Rp 525 hingga Rp 695 per saham. Dengan asumsi seluruh saham terjual pada harga maksimal, perusahaan bisa meraup dana hingga sekitar Rp 3,06 triliun. Rentang harga tersebut menimbulkan perdebatan: apakah valuasi SUPA terlalu mahal atau sebenarnya masuk akal terutama bergantung pada di mana harga akhir dialokasikan dalam rentang banding itu.
Proses IPO seperti yang dilakukan Superbank menggunakan metode Book Building. Metode ini berbeda dengan IPO dengan harga tetap (fixed‑price). Dalam bookbuilding, perusahaan menetapkan rentang harga floor (bawah) dan cap (atas) lalu investor institusi dan ritel memasukkan tawaran harga dan jumlah saham yang ingin dibeli selama periode tertentu. Setelah periode penawaran berakhir, penjamin emisi (underwriters) mengevaluasi seluruh tawaran dan kemudian menetapkan harga akhir berdasarkan permintaan.
Dengan metode ini, harga IPO menjadi “disesuaikan oleh pasar” apabila permintaan tinggi, harga cenderung berada di dekat atau di batas atas; jika permintaan rendah, harga bisa berada di batas bawah. Itulah sebabnya sulit menyimpulkan “mahal” atau “murah” sebelum harga akhir diumumkan karena banyak bergantung pada dinamika pasar dan minat investor.
Beberapa analis dari para investor yang menilai bahwa jika SUPA menetapkan harga di dekat Rp 695, valuasinya bisa terlalu tinggi. Alasan mereka:
Perusahaan berada di fase pertumbuhan dan transformasi (bank digital), bukan bank besar mapan. Jika dibandingkan dengan bank digital lain atau bank konvensional, multipel harga terhadap aset, laba, atau ekuitas bisa terasa agresif.
Karena itu, bagi sebagian investor konservatif atau yang mengedepankan margin aman, harga mendekati Rp 695 mungkin terasa “mahal”.
Di sisi lain, ada argumen bahwa harga tersebut dapat dianggap wajar bahkan menarik tergantung konteks harga akhir dan potensi jangka panjang:
SUPA adalah bank digital di bawah grup besar, dengan dukungan teknologi dan modal kuat. Jika eksekusi manajemen, ekspansi kredit, dan strategi digital berjalan baik, nilai jangka panjang bisa mendukung harga IPO yang relatif tinggi.
Dengan kata lain jika harga akhir masuk pada kisaran atas, tetapi pertumbuhan bisnis cocok dengan ekspektasi harga IPO bisa dibenarkan.
| Skenario Harga IPO | Harga per Saham (IDR) | Estimasi PBV | Implikasi / Potensi & Risiko |
|---|---|---|---|
| Rendah | Rp 525 | 3.3× |
|
| Menengah | Rp 610 | 3.8× |
|
| Tinggi | Rp 695 | 4.3–4.35× |
|
IPO SUPA menawarkan peluang menarik untuk memasuki bank digital milik grup besar di pasar modal namun keputusan “mahal” atau “wajar” sangat tergantung pada titik harga akhir yang akan diumumkan via bookbuilding. Bagi investor dengan toleransi risiko dan horizon menengah‑panjang, harga atas bisa wajar jika potensi pertumbuhan terealisasi. Bagi investor konservatif, harga tengah atau bawah terasa lebih aman.
Intinya: jadilah investor cerdas pahami mekanisme bookbuilding, ukur valuasi realistis, dan pertimbangkan tujuan investasi Anda. IPO bukan sekadar soal harga awal, melainkan soal potensi jangka panjang.
PT Chandra Asri Pacific Tbk (CDIA) mengumumkan rencananya untuk memberikan pinjaman kepada dua anak usahanya…
Profil & Potensi Bisnis Saham CDIA Saham CDIA ( PT Chandra Daya Investasi Tbk) holding…
Emiten pertambangan terbesar di Grup Bakrie, PT Bumi Resources Tbk (BUMI), mencatatkan penurunan kinerja signifikan…
Dua emiten Indonesia tercatat resmi masuk ke indeks utama MSCI. Dalam pengarakan kuartalan yang berlaku…
JPMorgan Chase baru saja mengambil langkah besar dalam dunia keuangan digital dengan meluncurkan tokenisasi dana…
PT Pelayaran Jaya Hidup Baru Tbk (PJHB) siap melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada…