Kokoinves.com – Saham perusahaan pengelola dan pemegang merek KFC di Indonesia, PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), mengalami penurunan tajam hampir 20% dalam sepekan terakhir, menyusul laporan keuangan yang mengecewakan. Pada perdagangan Rabu (6/11/2024), saham KFC turun 7,10% menjadi Rp 340 per saham, dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp 1,36 triliun. Sebelumnya, pada Selasa (5/11/2024), saham KFC juga merosot 8,96%. Saham perusahaan waralaba ini telah mengalami penurunan selama empat hari berturut-turut setelah terakhir kali menguat 1,44% pada Kamis (31/10/2024) pekan lalu. Dengan demikian, dalam waktu kurang dari sepekan, saham KFC telah terjun 19,81%, menghapus Rp 336 miliar kapitalisasi pasar dalam periode yang sama.
Kerugian Meningkat Tajam pada Kuartal III-2024
PT Fast Food Indonesia Tbk mencatatkan rugi sebesar Rp 557,08 miliar yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk pada kuartal III-2024. Kerugian ini mengalami kenaikan signifikan sebesar 266,59% secara tahunan (year-on-year) dibandingkan dengan rugi sebesar Rp 152,41 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan kinerja bottom line ini berkaitan erat dengan penurunan kinerja top line perusahaan.
Pendapatan saham FAST tercatat sebesar Rp 3,59 triliun dalam sembilan bulan pertama tahun ini, turun 22,28% dari Rp 4,61 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Semua lini pendapatan FAST mengalami penurunan, dengan pendapatan dari makanan dan minuman menyumbang sebesar Rp 3,57 triliun, menurun dari Rp 4,6 triliun setahun sebelumnya. Pendapatan komisi penjualan turun menjadi Rp 15,36 triliun dari Rp 17,26 triliun, sementara jasa layanan antar juga ikut turun menjadi Rp 1,41 triliun dari Rp 2,07 triliun.
Beban Pokok Penjualan dan Laba Bruto Menurun
Seiring dengan penurunan pendapatan, beban pokok penjualan FAST turut menyusut sebesar 12,63% secara tahunan, menjadi Rp 1,50 triliun dari Rp 1,72 triliun pada periode yang sama tahun sebelumnya. Penurunan ini menyebabkan laba bruto perusahaan menyusut menjadi Rp 2,08 triliun dari Rp 2,89 triliun. Selain itu, total aset FAST juga mengalami penurunan dari Rp 3,91 triliun pada Desember 2023 menjadi Rp 3,82 triliun pada September 2024.
Tantangan Ekonomi dan Dampak Krisis Timur Tengah
Selain KFC, FAST juga merupakan pewaralaba merek Taco Bell di Indonesia. Pada semester I-2024, perusahaan mengungkapkan bahwa penurunan daya beli masyarakat dan dampak krisis di Timur Tengah menjadi faktor utama yang memperberat kinerja keuangan. Meski dampak pandemi sudah tidak lagi terasa, penurunan daya beli menjadi faktor yang menekan pertumbuhan perusahaan. “Proses pemulihan setelah pandemi melambat akibat menurunnya daya beli masyarakat,” jelas manajemen dalam keterbukaan informasi kepada Bursa Efek Indonesia (BEI).
Manajemen juga menyoroti bahwa konflik di Timur Tengah telah menyebabkan adanya boikot terhadap merek-merek asal Amerika Serikat, termasuk KFC, yang berdampak pada kinerja perusahaan. “Memasuki kuartal terakhir 2023, keadaan diperberat dengan adanya boikot terhadap brand-brand asal Amerika Serikat sebagai dampak konflik Timur Tengah,” ungkap manajemen KFC Indonesia.
Baca Juga : Saham ADRO Melonjak 4% Berkat Rencana Pembagian Dividen Tambahan
Dampak Boikot dan Penutupan Gerai KFC
Menanggapi isu boikot, manajemen KFC Indonesia menegaskan dukungan terhadap kebijakan pemerintah terkait konflik Timur Tengah. Dalam laporan keuangan terbaru, perusahaan melaporkan bahwa sebanyak 47 gerai KFC telah ditutup sejak akhir 2023, yang turut berpengaruh terhadap kinerja keuangan perusahaan. “Per 30 September 2024, perusahaan mengoperasikan 715 gerai restoran, sedangkan pada 31 Desember 2023 jumlahnya mencapai 762 gerai,” tulis FAST dalam laporan keuangan terbarunya.
Pengurangan Karyawan dan Efisiensi Operasional
Selain penutupan gerai, jumlah karyawan KFC Indonesia dan anak usaha FAST juga mengalami penurunan signifikan. Pada akhir September 2024, jumlah karyawan Grup KFC tercatat 13.715 orang, turun sebanyak 2.274 orang dibandingkan posisi 31 Desember 2023 yang berjumlah 15.989 karyawan. Pengurangan ini dilakukan sebagai upaya perusahaan untuk efisiensi operasional dan menyesuaikan dengan kondisi pasar yang menantang.